TEMPO.CO, Batam - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku siap bertemu dengan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar bersama Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti di pengadilan dalam perkara pencemaran nama baik. Berkas laporan Luhut sudah lengkap atau P21.
"Kita tunggu saja di pengadilan," kata Luhut kepada Tempo, di Batam, Kamis 9 Maret 2023.
Luhut mengklaim langkahnya menempuh jalur hukum dalam kasus ini merupakan hak asasinya sebagai warga negara Indonesia. "Jadi menurut saya, kita punya hak azasi yang sama. Jadi kalau kamu menuduh saya salah, dan tidak mau minta maaf, pengadilan lah nanti tempat kita melihat siapa yang salah dan benar," kata Luhut.
Sebelum masuk jalur hukum, Ia menyebut pihaknya sudah meminta keduanya untuk meminta maaf. Namun tidak dilakukan. "Saya sudah minta (mereka minta maaf) beberapa kali, dia tidak mau, kalau sekarang kita tunggu pengadilan aja," katanya.
Berkas perkara dugaan pencemaran nama baik yang menyeret Aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah dilimpahkan dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Senin, 6 Maret 2023. Kasus mereka sudah diproses kurang lebih selama satu tahun enam bulan.
Amnesty minta tuntutan terhadap Haris dan Fatia dicabut
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, pejabat pemerintahan harus berkomitmen soal hak kebebasan berekspresi
"Jika mereka benar-benar berkomitmen terhadap hak asasi manusia, aparat harus segera mencabut tuntutan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar," ujar Usman dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 8 Maret 2023.
Dia melihat selama ini pejabat pemerintah terus menyatakan komitmennya terhadap perlindungan HAM. Tetapi tindakannya memperlihatkan hal yang berbeda.
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi tersangka setelah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena membahas laporan temuan yang diduga Luhut terlibat dalam industri pertambangan di Papua.
“Kasus ini sekali lagi menunjukkan ketidakhormatan terhadap hak asasi manusia di pihak otoritas Indonesia. Undang-Undang pidana pencemaran nama baik adalah pembatasan yang melanggar hukum atas hak kebebasan berekspresi dan karenanya harus dicabut,” kata Usman Hamid.
Menurutnya intimidasi pemerintah terhadap pembela HAM sudah menjadi tren yang mengkhawatirkan. Amnesty International Indonesia pun telah memiliki laporan soal menyusutnya ruang masyarakat sipil di Indonesia selama tiga tahun terakhir akibat serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi.
Maka dari itu, Usman menganggap penindasan terhadap pembela HAM menunjukkan pihak berwenang gagal melindungi hak kebebasan berekspresi serta memastikan lingkungan yang aman dan mendukung bagi pembela HAM.
“Kami juga mendorong komunitas internasional untuk meminta pemerintah Indonesia mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan melindungi para pembela hak asasi manusia," ujar Usman Hamid.